kabarlaut – Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI) mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah diplomasi menyikapi kebijakan pengenaan tarif impor oleh Amerika Serikat (AS) terhadap komoditas-komoditas dari Indonesia yang mencapai 32%.
Wakil Ketua Umum BPP GINSI, Erwin Taufan menyatakan, kebijakan tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja perdagangan internasional Indonesia, baik dalam hal ekspor maupun impor.
Dia menjelaskan bahwa kebijakan tarif impor AS ini tidak hanya berdampak pada perdagangan komoditas ekspor Indonesia, namun juga berpengaruh langsung pada importir Indonesia, terutama yang mengimpor barang-barang dari AS.
Menurutnya, kebijakan ini muncul sebagai balasan atas tarif impor yang dikenakan oleh Indonesia terhadap barang-barang dari AS.
“Artinya, ini merupakan tarif timbal balik (reciprocal tariff), dan ini menunjukkan bahwa ketegangan ini sangat erat kaitannya dengan sektor importasi, khususnya bagi barang-barang yang berasal dari AS,” ucap Taufan pada Senin (7/4/2025).
Untuk itu, GINSI juga mendorong penguatan hubungan bilateral dengan Amerika Serikat, serta melakukan penujukkan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Kemudian, membuka pangsa pasar baru untuk negara-negara non-konvensional guna mencari alternatif market.
Sebagai informasi, dalam list yang diedarkan pemerintah AS, tariff impor Indonesia untuk barang-barang dari AS dinyatakan sebesar 64%. Ini menjadikan rujukan bagi AS dalam penetapan reciprocal tariff (tariff timbal balik) yakni sebesar 32% untuk impor dari Indonesia.
Melihat perkembangan ini, GINSI meminta agar pemerintah Indonesia melakukan langkah-langkah diplomasi yang lebih intensif untuk meredakan ketegangan perdagangan.
Taufan menambahkan bahwa negara-negara lain telah lebih dulu melakukan langkah serupa untuk mempertahankan kestabilan hubungan perdagangan mereka dengan AS. Ia menyebutkan contoh Vietnam yang telah mengajukan proposal untuk tarif impor 0% bagi barang-barang dari AS.
“Vietnam sudah mengajukan proposal tarif impor 0% untuk barang-barang dari AS, ini tentu langkah yang patut dicontoh. Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk juga mengambil jalan diplomasi seperti itu,” ungkapnya.
Taufan meyakini bahwa setiap negara memiliki strategi tersendiri dalam menghadapi permasalahan ini. Namun, imbuhnya, Indonesia tidak perlu mengikuti jejak China yang merespons kebijakan AS dengan langkah balasan yang serupa.
“Menurut kami, kita tidak perlu melakukan perlawanan dengan mengambil langkah yang sama yang dilakukan AS. Sebaliknya, kita harus melakukan diplomasi lewat lobi-lobi yang terbuka, termasuk untuk menurunkan tarif impor,” katanya.
Langkah diplomasi yang dimaksud, menurut Taufan, dapat dilakukan dengan membuka ruang dialog dan kesepakatan perdagangan yang saling menguntungkan antara Indonesia dan AS. Hal ini diharapkan dapat meringankan dampak negatif yang dihadapi oleh importir Indonesia serta memperkuat hubungan perdagangan antara kedua negara.
Taufan juga menekankan pentingnya keberlanjutan strategi perdagangan internasional yang lebih fleksibel dan adaptif dalam menghadapi situasi yang terus berubah, termasuk dalam merespons kebijakan-kebijakan unilateral yang seringkali memengaruhi sektor perdagangan global.
“Dengan upaya diplomasi yang tepat, diharapkan Indonesia dapat menjaga kelangsungan dan pertumbuhan perdagangan internasional, serta memperkuat posisi tawar dalam hubungan ekonomi global yang semakin kompleks,” ucap Taufan.
Dia menambahkan, GINSI juga mengapresiasi upaya Pemerintah Indonesia yang terus melakukan koordinasi lintas Kementerian dan Lembaga serta menjalin komunikasi dengan United States Trade Representative (USTR), U.S. Chamber of Commerce, dan negara mitra lainnya dalam rangka merumuskan langkah strategis yang tepat guna merespons kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat.
Koordinasi dilakukan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh dan selaras dengan kepentingan nasional.[*]