Figur

Kemajuan Kemaritiman Nasional, Butuh Kolaborasi Bersama

×

Kemajuan Kemaritiman Nasional, Butuh Kolaborasi Bersama

Sebarkan artikel ini

Oleh : kabarlaut.id

kabarlaut.id – Isu-isu terkait kepelabuhanan, pelayaran maupun logistik secara umum dalam upaya mendongkrak kinerja perekonomian serta daya saing Indonesia dikancah global, menjadi perhatian berbagai kalangan.

Selain praktisi, para pegiat Kemaritiman, Kepelabuhanan & Logistik di tanah air kerap menyoroti hal tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagai kesempatan.

Dr.Drs.H. Achmad Ridwan Tentowi.S.H.M.H, Pegiat Kemaritiman dari Indonesia Maritime Logistics and Transportation Watch (IMLOW) – kerap kali menyampaikan gagasan-gagasannya dalam mendorong kemajuan kemaritiman nasional agar Indonesia bisa mewujudkan Poros Maritim Dunia sebagaimana yang pernah disampaikan Presiden RI Joko Widodo.

Selain sebagai praktisi bisnis, Achmad Ridwan Tentowi yang kini sebagai akademisi dan menjadi pengajar (dosen) pasca Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta dan pernah menjabat berbagai Pengurus organisasi pelaku usaha/pengguna jasa itu, kini juga aktif menulis Buku.

Sejumlah karya dituangkan lewat pemikirian dan analisisnya berdasarkan data faktual, referensi ilmiah terkait persoalan perdagangan, politik hukum kepelabuhan dan kemaritiman.

Bahkan sejak tahun 2016, Pria Kelahiran Bandung Jawa Barat tahun 1959 itu kerapkali menyampaikan uneg-unegnya berkaitan dengan tema Kepelabuhan dan Kemaritiman di berbagai jurnal internasional.

Buku berjudul ‘Politik Hukum Tata Kelola Kepelabuhanan Nasional, Studi Kasus Dwelling Time di Tanjung Priok-Jakarta’,  merupakan buku pertama yang terbit pada tahun 2016 karya Drs Achmad Ridwan Tentowi MH, bersama para rekan sejawatnya yakni, Dr. T Subarsyah Sumadikara S.H, dan Roely Panggabean S.H.MH.

Pada Buku setebal 367 halaman dan disiapkan selama 4 tahun itu (sejak 2012), Penulis ingin menggambarkan secara jujur bahwa rujukan tentang Hukum Kepelabuhanan di Indonesia yang selama ini masih sangat minim. Sehingga Buku tersebut dihadirkan untuk menyajikan kajian Hukum terhadap Kepelabuhanan, terutama Penulis menyoroti tentang Politik Hukum Dwelling Time.

Sebagaimana diketahui, isu Dwelling Time dimulai sejak 2012 lalu, kemudian pada 2015 isu ini menjadi inspirasi Penulis untuk dijadikan sebuah Buku yang menjadi rujukan untuk merancang Hukum Kepelabuhanan.

Kemudian, pada tahun 2020, Achmad Ridwan Tentowi, kembali menulis buku Kerugian Badan Usaha Pelabuhan Akibat Re-Ekspor Yang Tidak Dilaksanakan – Studi Kasus Daging Impor Ilegal di Pelabuhan Tanjung Priok’.

Buku setebal kurang lebih 165 halaman itu, dimaksudkan memberikan pencerahan dan harapan kedepannya supaya ada langkah konkret berupa payung hukum yang dapat menindak secara tegas re-ekspor yang tidak dilaksanakan, baik secara pidana maupun perdata.

Penulis berpandangan, tujuan terbentuknya payung hukum itu adalah untuk mencapai kepastian, ketertiban dan keadilan dalam kegiatan re-ekspor.

Dan, yang teranyar karya Achmad Ridwan Tentowi yakni Buku berjudul Akselerasi Perjanjian Fasilitas Perdagangan Dengan Politik Hukum Kepelabuhanan – Sebuah Pengantar Pembangunan Hukum Kemaritiman di Era Tatanan Hidup Baru atau New Normal’.

Buku setebal 171 halaman yang terbit pada Agustus 2022 itu memuat substansi bagaimana menghadapi tatanan New Normal (Pasca Pandemi Covid-19) terkait kegiatan perekonomian dan perdagangan, logistik, transportasi, kepelabuhanan dan sektor lainnya.

Buku Karya Achmad Ridwan Tento

Achmad Ridwan yang juga Pengamat Kemaritiman dari Indonesia Maritime, Transportation and Logistics Watch (IMLOW) itu, melalui bukunya tersebut mengulas secara komprehensif  bagaimana persoalan tarif-tarif kepelabuhanan, digitalisasi logistik, Delivery Order (DO) online, Indonesia National Single Window (INSW) yang pada akhirnya juga berkembang ke Nasional Logistik Ekosistem (NLE), serta mendorong unsur Otoritas Pelabuhan (OP) di pelabuhan-pelabuhan utama yang diusahakan (komersial) untuk menjamin lancaran arus barang dan logistik di Pelabuhan sesuai tanggung jawabnya yang diamanatkan oleh Undang-Undang.

Dalam buku tersebut, Penulis juga menyoroti hal-hal terkait perdagangan, pemanfaatan fasilitas perdagangan, termasuk kerjasama lintas batas (lintas border) diantara berbagai negara dengan pelaksanaa ketentuan di bawah Trade Facilitation Agreement (FTA) dari World Trade Organization (WTO).

Perkuatan Otoritas Pelabuhan

(IMLOW juga terus mendorong Pemerintah memperkuat peran dan fungsi Otoritas Pelabuhan (OP). Bahkan sejak awal, lembaga swadaya yang taktis dalam kajian kemaritiman ini mengusulkan supaya OP di Indonesia bertanggung jawab langsung kepada Presiden ataupun Menteri Perhubungan.

Hal ini menjadi krusial agar visi dan misi menjadikan RI sebagai poros maritim dunia bisa terealisasikan. Salah satunya dari persoalan tata kelola kelembagaan tersebut yakni menyangkut peran dan fungsi kantor Otoritas Pelabuhan (OP) yang sudah saatnya dilakukan penguatan.

IMLOW berpandangan, instansi OP mesti berdiri sebagai lembaga independen atau setingkat badan tersendiri yang bertanggung jawab langsung kepada Kementerian teknis terkait dalam hal ini Menteri perhubungan maupun kepada Presiden.

IMLOW juga menyampaikan pandangannya, bahwa istilah Otoritas Pelabuhan Utama, Syahbandar Utama, dan KSOP yang ada saat ini perlu ditinjau ulang dan diganti dengan nama lembaga Syahbandar maupun Otoritas Pelabuhan (OP) saja sesuai dengan amanat UU No. 17/2008 tentang Pelayaran.

Sebab, IMLOW menilai posisi dan status OP memengaruhi banyak hal antara lain, kecepatan dalam menyikapi penanganan masalah di lapangan hingga yang berkaitan dengan optimalisasi fasilitas pelabuhan maupun investasi.

Pasalnya, peran dan fungsi kewenangan regulator tertinggi di pelabuhan sangat berhubungan erat dengan tingkat efektivitas dan efisiensi layanan kepelabuhanan, termasuk mengkonsolidasikan seluruh stakeholders terkait untuk mengeksekusi kebijakan pemerintah secara langsung.Juga menyangkut kecepatan dalam menyikapi penanganan masalah di lapangan hingga yang berkaitan dengan optimalisasi fasilitas pelabuhan maupun investasi.

Di Indonesia, Otoritas Pelabuhan bertanggung jawab kepada Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub. Sementara di negara (seperti Malaysia dan Singapura) bertanggung jawab langsung kepada Menteri ataupun Presiden atau setingkatnya, sehingga memiliki otoritas yang kuat karena memiliki payung hukum yang lebih kuat.

OP di Indonesia berperan sebagai pengendalian, pembinaan dan pengawasan kegiatan di pelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran. OP memiliki kewenangan pengendalian tetapi bukan merupakan kewenangan tertinggi karena bertanggung kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang diwakili oleh Dirjen Perhubungan Laut.

Adapun di Singapura, regulator tertinggi di pelabuhan dapat mempromosikan penggunaan fasilitas pelabuhan, mengatur dan mengontrol navigasi dalam batas-batas pelabuhan dan pendekatan ke pelabuhan, serta fungsi perizinan layanan laut.

Di Singapura, katanya, otoritas pelabuhan dikenal dengan istilah Maritime and Port Authority of Singapore. Otoritas pelabuhan di Singapura itu bertanggung jawab langsung kepada Menteri, sehingga institusi ini merupakan kewenangan tertinggi yang tidak dibatasi oleh peraturan dibawahnya. Tugas OP di Singapura juga mempromosikan pelabuhan.

Sedangkan, di Malaysia OP berperan memfasilitasi perdagangan dan perencanaan pengembangan pelabuhan, pengawasan peraturan fasilitas dan layanan diprivatisasi, wewenang wilayah bebas asset management. OP di Malaysia bertanggung jawab langsung kepada yang di ‘Pertuan Agung’, dan kewenangan tertinggi OP di negara ini biasa yang disebut ‘Suksesi Abadi’ yang memiliki tugas pokok mempromosikan pelabuhan dan berkonsentrasi pada pengembangannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *